JAKARTA — Kelompok masyarakat madani Indonesia melayangkan gugatan ke pemerintah Jepang terkait pembuangan limbah nuklir Fukushima ke laut. Ini erat kaitannya dengan rencana pembuangan limbah nuklir baru pada Maret mendatang.
Perhimpunan Bantuan Hukum dan HAM Indonesia (PBHI) dan Ekologi Maritim Indonesia (Ekomarin) yang tergabung dalam Tim Advokasi Masyarakat Perairan Anti Racun (Tim TAMPAR), Kamis (22/2) melayangkan gugatan kepada pemerintah Jepang melalui Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, terkait pembuangan limbah nuklir Fukushima ke laut.
Gugatan ini diajukan setelah tiga kali somasi yang dilayangkan Tim TAMPAR kepada pemerintah Jepang melalui Kedutaan Besar Jepang di Jakarta, tidak mendapatkan tanggapan.
Koordinator Nasional Ekologi Maritim Indonesia (Ekomarin) Marthin Hadiwinata menjelaskan sejumlah alasan yang mendasari gugatan tersebut, antara lain tindakan pembuangan limbah nuklir yang berdampak secara langsung pada ekosistem lingkungan hidup Indonesia.
Marthin meragukan teknologi sistem pemrosesan cairan canggih yang diklaim Jepang mampu menghilangkan konsentrasi radioaktif tritirum/karbon-14. Kontaminasi limbah ini, ujar Marthin, akan berdampak pada produk perikanan laut, termasuk sumber daya ikan yang bermigrasi jauh. Dalam jangka panjang, hal ini akan berdampak pada kesehatan manusia yang mengkonsumsinya.
Pemerintah Jepang dinilai melakukan berbagai pelanggaran lain terhadap ketentuan hukum internasional, seperti: UNCLOS 1982 dan Convention on Nuclear Safety 1994 dengan tidak melaksanakan kewajiban untuk tidak menyebabkan kerusakan pencemaran terhadap negara lain. Tindakan pembuangan limbah yang tidak transparan, akuntabel dan demokratis tersebut secara nyata telah melanggar kewajiban prosedural yang diatur dalam Konvensi PBB UNCLOS dan Convention on Nuclear Safety 1994, ujar Marthin.
Indonesia diduga telah menderita kerugian yang tidak sedikit akibat tindakan gegabah Jepang membuang limbah nuklir Fukushima itu. Tim TAMPAR mencatat 173 jenis biota laut yang diimpor oleh Indonesia dan dikonsumsi masyarakat yang diduga kuat telah terkontaminasi zat radioaktif dari pembuangan limbah nuklir itu.
Setelah mengkaji berbagai kerugian dan dampak yang ditimbulkan itu, hakim diminta menghukum pemerintah Jepang dengan membayar ganti rugi sebesar Rp1 trilliun.
“Potensi-potensi dampak di kemudian hari khsusnya yang terkait dengan kesehatan. Dan juga potensi kerugian misalkan, salah satu yang menjadi perhatian kita adalah pencemaran ini bisa masuk dalam lingkungan perairan Indonesia karena pola arus dan lain-lain jadi bisa mencemari ikan-ikan yang ditangkap nelayan Indonesia,” papar Marthin.
Jepang Diminta Hentikan Ekspor Hasil Laut
Selain meminta hakim menyatakan bahwa pembuangan limbah nuklir oleh Jepang merupakan perbuatan melanggar hukum, Manager Program PBHI Gina Sabrina juga meminta Jepang menghentikan ekspor hasil lautnya dan sekaligus membuka data kajian atas hasil laut yang masuk ke Indonesia untuk mengetahui sejauh mana paparan kontaminasi yang terjadi.
“Karena tentu pemerintah Jepang punya tanggung jawab terhadap perlindungan konsumen di Indonesia, dan juga hasil semua yang masuk terhadap lingkungan Indonesia. Juga menuntut Jepang untuk mengumumkan nama-nama restoran yang terafiliasi yang rantai pasoknya diambil dari hasil laut di perairan Jepang,” ujarnya.
Pasca gempa dan tsunami hebat 2011 yang ikut menghancurkan fasilitas nuklir Fukushima, Jepang telah tiga kali membuang limbah nuklir ke laut, yaitu pada 23 Agustus 2023, 5 Oktober-27 Oktober 2023, dan Agustus-November 2023.
Pembuangan limbah keempat direncanakan akan dilakukan pada Maret 2024 dengan volume 31.200 metrik ton.
Pembuangan limbah nuklir Fukushima masih akan terus berjalan karena secara keseluruhan ada 1,34 juta metrik ton air limbah nuklir radioaktif yang tersimpan di sekitar 1.000 tangki.
Peneliti BRIN Tetap Yakin Limbah Fukushima Aman
Sebelumnya, peneliti senior bidang nuklir di Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) Djarot Sulistio Wisnubroto menegaskan limbah nuklir Fukushima yang dibuang ke laut itu aman karena sudah diolah sebelumnya. Menurutnya warga Indonesia tidak perlu khawatir karena kegiatan pembuangan limbah seperti ini kerap dilakukan oleh pembangkit listrik tenaga nuklir (PLTN) berbasis air di seluruh dunia.
PLTN berbasis air, kata Djarot, secara periodik melepas air limbah radioaktif yang mengandung tritium ke sungai atau laut. Hal ini tidak masalah karena jauh dari batas yang disyaratkan.
“Itulah yang menyebabkan saya memberikan kesimpulan tidak ada hal yang perlu dikhawatirkan masyarakat Indonesia terkait dengan pelepasan air terolah dari Fukushima Daiichi tersebut. Kalau itu dipermasalahkan, itu lebih ke arah politik daripada sains,” ujarnya.
Meskipun demikian ia menyerukan agar pembuangan air limbah radioaktif PLTN Fukushima ke laut sedianya dilakukan secara perlahan agar tidak melebihi batas yang disyaratkan oleh Badan Energi Atom Internasional (IAEA). Selama ini Jepang dikenal senantiasa mengikuti prosedur dan memproses pengolahan air limbah itu dengan baik.
Djarot melihat konsentrasi tritium dalam air limbah radioaktif PLTN Fukushima yang dibuang ke laut sangat rendah, sehingga tidak berdampak signifikan terhadap biota laut.
Belum ada tanggapan dari pemerintah Jepang terhadap gugatan yang diajukan kelompok masyarakat madani Indonesia ini. [fw/em]